Melayani & Melindungi Dengan Nurani

SANGIHE: ANTARA EMAS DAN IKAN

1,180
R Graal Taliawo (Foto Istimewa)

Oleh : R. Graal Taliawo

(Pegiat Sosial, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik, Universitas Indonesia, asal Halmahera)

- Advertisement -

KEMATIAN Helmud Hontong, Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, melahirkan banyak spekulasi. Tak sedikit yang menyandingkannya dengan kasus Munir—Munir Jilid 2. Keduanya meninggal di pesawat dan dikenal sebagai sosok yang kritis. Helmud menolak keras kehadiran perusahaan tambang asing di wilayahnya. Sebelum meninggal, ia sempat bersurat kepada Menteri ESDM untuk meninjau ulang perizinan atas perusahaan tambang asing tersebut.

Daerah tempatnya menjabat memang terkenal dengan potensi emasnya. Sumber daya ini menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memenuhi kesejahteraan mereka, yang selama ini belum sepenuhnya dipenuhi negara. Potensi ini juga seakan oase di padang gurun bagi negara. Di tengah ketidakmampuan memenuhi kesejahteraan masyarakat, tambang menjadi sumber pundi dengan cara mengundang investor. Dimaksudkan, dana yang diperoleh bisa dialokasikan untuk menyejahterakan. Sayang, pemanfaatan atas tambang ini—baik oleh masyarakat maupun negara—tidak bebas risiko, bahkan potensial merusak lingkungan di masa depan.

Desa Bawone tepatnya, desa ini digadang-gadang sebagai wilayah yang memiliki banyak kandungan emas. Selama ini, daerah tersebut telah dimanfaatkan warga lokal untuk menopang perekonomian melalui tambang rakyat. Aktivitas penambangan dilakukan secara tradisional. Di daerah itu, setidaknya sudah ada dua ratus lubang tambang tanpa izin dan tiga alat berat (“Sangihe: Tambang Takyat vs Asing”, TVOne, 2021).

Hal lain datang, serupa namun dalam bentuk yang lebih besar. Adalah PT Tambang Mas Sangihe (TMS) asal Kanada yang mendapat izin operasi produksi selama 33 tahun. Luasan daerah Kontrak Karya adalah 42.000 hektare atau sekitar 57% dari luas wilayah Sangihe. Ini berarti setengah lebih wilayah pulau kecil ini berstatus wilayah izin usaha pertambangan. Meskipun, hal itu diklaim oleh Ridwan Djamaludin, Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang mengatakan bahwa hanya 4.500 hektare yang menjadi areal operasional tambang, dimulai dengan 65 hektare terlebih dulu (TVOne, 2021).

Keduanya, baik tambang rakyat maupun tambang korporasi, adalah persoalan serius. Atas nama kesejahteraan, ekosistem dan lingkungan menjadi korban. Padahal, sudah banyak kasus bahwa pemanfaatan dan eksploitasi tambang ini memiliki dampak ekologis yang tidak main-main. Masyarakat harus siap menghadapi ketidakseimbangan alam, termasuk bencana alam. Tak hanya kehidupan manusia yang terganggu, makhluk hidup lain pun akan terdampak, sekarang dan masa mendatang.

Keberadaan tambang rakyat bukan tanpa sebab. Motif mereka adalah mencari “sesuap nasi”. Ini sebagai bentuk reaksi dari mereka yang tercampakkan, oleh karena negara belum bisa menjamin kesejahteraan hidup warganya. Mereka pun memilih memanfaatkan potensi daerah yang ada di depan mata.

Padahal, penghasilan dari tambang rakyat ini sebenarnya tidak menentu, baik secara perolehan maupun durasi kerja. Belum lagi risiko keselamatan kerja yang besar karena dilakukan ala kadarnya; peralatan menambang yang terbatas. Dengan semua kekurangan itu, patut dipertanyakan mengapa mereka masih menjalani profesi dan aktivitas tersebut.

Salah satu sebab adalah belum optimalnya negara, melalui pemerintah, memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) berkelanjutan di wilayah tersebut. Selain emas, Sangihe sebenarnya memiliki potensi perikanan yang besar. Tapi tampaknya belum ada upaya berarti dalam pengembangan sektor ini.

Sangihe masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 716, dengan 97% wilayahnya adalah perairan. Potensi perikanan mencapai 34.000 ton atau 9% dari total keseluruhan potensi WPPNRI 716. Namun, dari sejumlah potensi itu baru 8.502 ton yang tercapai, alias 25%-nya yang mampu dimanfaatkan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe, 2016).

- Advertisement -

Fasilitas dan infrastruktur perikanan pun belum mendapat perhatian penuh. Masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan “seadanya”. Berdasarkan data BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe (2018–2019), jenis perahu yang digunakan untuk melaut masih didominasi tanpa perahu dan perahu tanpa motor. Pada 2018, jumlah tanpa perahu 1.345 dan perahu tanpa motor 2.951. Pada 2019, jumlah tanpa perahu 1.360 dan perahu tanpa motor 2.781.

Belum lagi, pelabuhan Dagho, yang menjadi sentra perikanan turut menjadi soal. Jaraknya yang jauh dari Tahuna, basis perikanan di Sangihe, membuat nelayan sulit mengaksesnya. Cold storage dan pabrik es kerap mengalami kerusakan. Sebut saja pada 2016, dari tiga kipas, hanya satu yang berfungsi. Frekuensi mati lampu pun relatif sering. Dampaknya, kualitas ikan menurun bahkan busuk, nelayan pun merugi (mongabay.co.id, 2016).

Dengan potret itu, wajar jika penambang lokal enggan beralih ke sektor perikanan. Karena meskipun penambangan emas banyak kekurangan dan berdampak merusak lingkungan, tapi setidaknya lebih baik dan menghasilkan dibandingkan sektor perikanan. Padahal, andai negara bisa mengelola potensi perikanan ini, pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat tidak harus beralih ke eksploitasi sumber daya pertambangan.

Tak hanya tambang rakyat, tambang korporasi asing juga menjadi soal. Tambang skala besar adalah bentuk jalan pintas negara untuk meraup “untung”. Alasannya, tentu untuk menyejahterakan rakyat. Cara ini terbilang mudah karena negara tidak perlu pusing memikirkan modal besar dan metode untuk mengeksplorasi sumber daya perikanan, yang tentunya tidak mudah. Cukup undang investor, perjanjian, beri izin, dan mendapatkan pembagian hasil.

Berkaca dari kasus tersebut, yang juga menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pengetahuan warga dan komitmen pemerintah mengenai dampak jangka panjang dari aktivitas pertambangan. Tetap jalannya kegiatan penambangan ilegal menandakan bahwa pengetahuan dan komitmen warga terhadap dampak pertambangan juga patut dikritisi. Pun, diberikannya izin korporasi besar, meskipun sudah ada AMDAL, menandakan bahwa komitmen negara terhadap lingkungan diragukan. Padahal, letak Sangihe berada di daerah rawan bencana, maka bencana ekologi mungkin takkan terhindarkan. Menurut UU No. 1 Tahun 2014, pulau kecil di bawah 2.000 km2 dilindungi dari aktivitas pertambangan. Sangihe termasuk pulau kecil yang mestinya tidak boleh ditambang.

Sektor tambang mungkin terlihat lebih menjanjikan dibanding SDA berkelanjutan lainnya. Tapi, dampaknya yang kerap berujung eksploitasi besar-besaran sangat merugikan. Lubang bekas tambang umumnya tidak memiliki unsur hara, sehingga tidak bisa menghidupi makhluk hidup di atasnya. Ekosistem terganggu, tumbuhan dan hewan mati, kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi. Ujungnya adalah perubahan iklim yang akan berdampak pada bumi dan seisinya. Terlebih, kini Indonesia pun berada pada posisi ekologis yang mengkhawatirkan. Indonesia termasuk dalam sepuluh (10) negara dengan kehilangan hutan primer tertinggi di tahun 2020 (wri-indonesia.or, 2021).

“Perusak kecil” maupun “perusak besar” harus diawasi dan dibatasi. Tinjau ulang pemberian akses dan izin kepada semua pihak “perusak lingkungan” ini, baik penambang rakyat maupun penambang korporasi asing. Eksplorasi boleh dilakukan dengan syarat bumi dan manusianya harus menjadi pertimbangan. Perlu ditekankan pentingnya keseimbangan ekosistem.

Selain itu, negara dan pemerintah daerah bisa lebih memaksimalkan pemanfaatan SDA berkelanjutan. Sektor perikanan bisa digeliatkan melalui pembangunan industri pengolahan ikan untuk tujuan komersial. Selama ini, kita lebih banyak mengekspor bahan mentah ke negara lain, baru kemudian negara tersebut mengolahnya dan mengekspor ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Padahal, bahan baku ikan berasal dari Indonesia.

Hasil tangkapan ikan sebaiknya tidak dijual dalam bentuk gelondongan atau mentah, melainkan diolah terlebih dulu berbentuk barang jadi. Seperti di Cirebon, yang mengolah udang menjadi tepung udang dan diekspor ke Thailand hingga negara lainnya. Atau Maluku Utara yang terkenal dengan olahan ikan asapnya yang merambah pasar Asia. Banyak olahan lainnya yang bisa dikembangkan, seperti kerupuk, kecap, baso, sosis, dan lainnya, untuk dijadikan komoditas unggulan sektor perikanan Sangihe.

Amin Alamsjah, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair, mengatakan bahwa perbandingan menjual raw material dengan olahan ikan adalah 1:100 (news.unair.ac.id, 2020). Ini berarti memberi nilai tambah melalui produk olahan akan menguntungkan dari segi pendapatan. Terlebih, produk olahan ini diminati pasar internasional. Industri pengolahan ikan pun bisa dimanfaatkan untuk menghidupi UMKM, baik yang mengolah maupun yang memasarkan. Peluang lapangan kerja akan terbuka lebar.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan fasilitas dan infrastruktur penunjang untuk menangkap dan mengolah sumber daya perikanan tersebut. Kapasitas masyarakat perlu ditingkatkan untuk menjalankan industri perikanan. Dukungan negara melalui berbagai regulasi juga diperlukan supaya kelak sektor ini menjadi “emas baru” yang menarik dan mengubah orientasi penambang lokal Sangihe.

Memanfaatkan SDA berkelanjutan atau mengeksplorasi tambang adalah pilihan. Pilihan yang baik tentunya memerhatikan keseimbangan ekosistem, manusia di dalamnya, maupun kebutuhan ekonomi. Dan, itu perlu dicapai supaya alam tetap lestari, manusia sejahtera, serta aktivitas ekonomi berjalan tanpa merusak alam; mengorbankan dan ataupun dikorbankan. (***)

Tinggalkan Balasan