Melayani & Melindungi Dengan Nurani

Rumah Intelektual (itu) Kini Tak Berdaya

1,033

Oleh : Haryanto Antho, mantan Ketua Umum HMI Cabang Manado 

- Advertisement -

Ada sebuah kebanggaan tersendiri, saat tahun 1996, walau sebenarnya “kecolongan” karena “di bajak” seorang karib, teman sekelas di kampus Abu-Abu, untuk bergabung dalam sebuah organisasi ekstra kampus berlabel Islam, bernama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Masa-masa paska basic training, menjadi titik balik saya, yang kala itu hanya disibukkan dengan urusan utama kampus (belajar), kini, saat menjadi anggota resmi kaum intelektual Ijo-Itam, aktivitas membaca dan diskusi menjadi fardhu ain untuk dilakoni secara saksama.

Deretan senior, yang mumpuni dalam bidang ilmu masing-masing, menjadi daya tarik dan daya rekat bagi kaum milenial kampus era telepon koin, untuk dapat menjadi bagian dari keluarga besar komunitas terpelajar itu.

Sekira 5 tahun, bergelut, berjibaku dengan berbagai aktivitas diskusi, seminar, kegiatan training dan lain sebagainya, merupakan masa yang sungguh tak bisa dilupakan seumur hidup.

Pahit getir, mengarungi kehidupan kampus, sementara dengan keterbatasan uang saku, menjadi persoalan klasik yang muncul kala itu, dimana kebutuhan akan buku (membaca) sudah melebihi kebutuhan pokok.

Tak baca buku sehari, serasa dunia ini menjadi gelap, pun juga melewatkan sebuah diskusi (walau dalam kelompok kecil) seakan membuat otak ini menjadi beku. Tak heran lah, dengan di tempah sedemikian ketat oleh para senior, untuk tetap eksis dengan pengetahuan, bukan cuma ilmu dasar keahlian masing-masing, tapi berbagai pengetahuan diluar kampus pun, tak pelak, kami lahap dengan sehat sentosa, membuat kami menjadi sangat mencintai organisasi ini.

Terkadang persoalan siapa yang menjadi Ketua Umum, bukan menjadi daya tarik, tapi apa yang bisa kami dapat di dalamnya secara komunal itulah yang menjadi daya rekat luar biasa. Kerap kondisi ini, seringkali para senior mengatakan pertemanan melebihi saudara.

Saya pun, saat pertama kali, ikut event rekruitment kepemimpinan di tingkatan cabang (Konpercab), sungguh tercengang, melihat situasi dan pergumulan ide gagasan yang kerap memolorkan jadwal acara konperensi itu.

Perdebatan yang terjadi, sungguh merupakan sebuah tayangan “atraksi” intelektual yang sangat menarik. Memperjuangkan ide gagasan, antar komisariat, agar supaya bisa dituangkan dalam rencana kerja kepengurusan, atau rekomendasi internal maupun eksternal, menjadi pemandangan menarik kala itu.

Sementara, untuk pemilihan Ketua Umum, bukan menjadi sesuatu yang sangat utama, karena bagi kami saat itu. Ketua Umum, hanya seperti masinis kereta api saja, dia menjalankan roda organisasi harus berdasarkan apa yang telah diamanatkan pada saat Konpercab itu, dalam bentuk program kerja, serta berbagai pernak-pernik administrasi organisasi lainnya.

Pun juga saat mengikuti Kongres Jambi 1999, kala itu yang terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI adalah saudara M. Fakhruddin yang menggantikan saudara Anas Urbaningrum, dinamika intelektual pun, sangat kencang.

Perdebatan yang bernuansa intelektual -dengan berbagai teori yang melandasinya- antar peserta dari berbagai cabang, murni, untuk memperjuangkan rekomendasi masing-masing daerah (cabang) untuk di tetapkan dalam arena kongres, sebagai keputusan untuk dijalankan pelanjut organisasi yang terpilih nanti.

Lagi-lagi persoalan siapa yang menjadi Ketua Umum itu pun, bukanlah sebuah moment sangat penting, tapi hanya sebagai moment penutup sebuah kongres. Apakah saat itu, permainan politik terjadi? Pastilah, tapi masih dalam taraf yang bisa di mengerti dan ditoleransi.

Perdebatan sengit saat moment pemilihan ketua umum, itu pun, kerap terjadi pada persoalan kriteria ketua umum dan kesepakatan dukungan peserta saat one delegation one vote (suara delegasi yang menentukan bakal calon menjadi calon), untuk mengesahkan bakal calon menjadi calon.

Tapi apa lacur dengan berita dari Surabaya hari ini, Kongres, berhari-hari, setelah prosesi pembukaan kongres yang wah itu, tidak punya agenda apapun.

Hello…..kalian datang ber kongres, atau hanya sekadar pelisiran di kota pahlawan?. Padahal kedatangan kalian penuh perjuangan, selain persoalan tiket entah pesawat, kapal laut maupun kereta api, protap kesehatan Covid-19 pun harus dilakukan dengan saksama.

Bukankah arena kongres adalah laboratorium politik yang sungguh berwarna? Kenapa kalian membuat warna kelabu saja?

Dimana integritas kalian, melihat rumah Intelektual kita telah renta di makan usia, kini tak berdaya melawan penyakit akut pragmatis-transaksional?. Apa sesungguhnya yang kalian cari? Jatidiri seorang kader? Gagah-gagahan sebagai peserta kongres, supaya bisa di pajang dalam akun media sosial kalian?.

Atau….. Jangan-jangan kalian adalah wayang yang dimainkan dalang, tanpa kalian sadar?

Dek,….masa depan dan keberlangsungan rumah Intelektual kita, ada pada kalian hari ini.

Tanggung jawab moral sebagai kader yang masih aktif, di pundak kalian, untuk senantiasa merawat, memperbaiki dan membuat rumah Intelektual kita jadi nyaman untuk ditinggali dan disinggahi.

Dek….apakah kalian rela menjadi generasi yang gagal melanjutkan perjuangan para pendiri rumah Intelektual kita itu?

Saya pun pernah merasakan hingar bingar kongres. Bahkan sebagai ketua delegasi (orang yang cukup menentukan pada putaran pertama pertarungan menuju kursi ketua umum).

Sekira tahun 1999, pertarungan kongres penuh dengan perdebatan Intelektual, “perang” argumentasi dalam ruang sidang, bukan untuk unjuk kekuatan, tapi memperjuangkan program masing-masing cabang supaya masuk pada Garis Besar Haluan Organisasi yang akan di sahkan pada momentum kongres itu.

Persoalan lobi-lobi politik untuk memenangkan kursi ketua umum pun sangat kental saat itu, tapi “etika” berpolitik masih terjaga dengan baik. Dek,…para kandidat bertemu dengan peserta pada acara lobi-lobi politik, sarat akan nuansa Intelektual.

Sang kandidat bertemu, dengan kami (para peserta kongres) bukan melakukan strategi bujuk rayu pakai uang, tapi berdebat tentang visi misi dia kalau berhasil menahkodai rumah Intelektual kita itu.

Persoalan jamuan makan minum dalam pertemuan itu, adalah lumrah, sebagai pelengkap “perdebatan” intelektual itu.

Selesai pertemuan dengan kandidat, kami tidak pulang membawa amplop, tapi pulang membawa rasa penasaran dengan visi-misi kandidat itu. Siapakah yang layak menjadi pemimpin kami, bukan karena kandidat itu banyak uang, ganteng ataupun pintar, melainkan bisakah dia mengemban amanat kami dan seluruh kadernya di Indonesia itu?.

Dek….hidup ini hanya sekali, setidaknya prestasi kalian, bisa ditorehkan dalam tinta emas sejarah rumah Intelektual kita maupun bangsa dan negara ini, bukan tertera dalam lembaran kelabu generasi “perusak” rumah Intelektual kita.

Dek….kongres hanya sekadar laboratorium poliik semata, bukan kehidupan politik nyata. Bagaimana kalian bisa eksis dalam kehidupan “politik” nyata, jikalau dalam laboratorium saja, kalian bereksperimen dengan keliru dan salah ramuan rumusnya?.

Dek….kongres hanya sebuah momentum belaka, bukan arena hidup mati kita sebagai seorang kader Ijo-Itam. Dek….di tangan kalian lah, tanggung jawab sebagai penerus penghuni rumah Intelektual kita itu diemban.

Baik maupun buruk, prestasi positif bahkan prestasi degradatif, kalianlah yang mengukirnya dalam prasasti sejarah rumah Intelektual kita, bukan kami yang sudah alumni ini. Dek….hanya itu yang bisa saya sampaikan, sebagai seorang kader yang pernah tinggal di rumah Intelektual itu, jika memang pendapat saya ini, tidak membawa manfaat, bagi saya, itu bukan persoalan.

**

Dari Perbatasan dua Kabupaten

23 Maret 2021, pukul 12.05

Tukang Bekeng Kopi

*) Tulisan ini dibuat, karena “geram” membaca berita tentang kongres HMI XXXI di Surabaya yang memprihatinkan.

Tinggalkan Balasan